Guyonan Non-Jawa; Jangan Maksa Jadi Presiden
Redaksi | Minggu, 25 September 2022, 02:02 WIB | 611 dibacaAndi Surya
Catatan Andi Surya
(Akademisi UMITRA, Lampung)
Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan bicara soal jangan maksa jadi Presiden kalau bukan orang Jawa, saat berbincang dengan Rocky Gerung di YouTube RGTV.
Sedikit geger ucapan Pak Luhut ini, tapi itu sebetulnya ada benarnya secara sosiologis demografis, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Jawa. Ucapan Pak Luhut menjadi ramai, lalu berubah jadi bahan perdebatan, karena undang-undang menyebutkan, semua orang Indonesia berhak memilih dan dipilih. Maka ucapan Pak Luhut ini ditanggapi pro kontra. Jika beliau lebih arif, harusnya ucapan itu cukup dalam hati aja, agar tidak mengundang debat.
Elektabilitas Non-Jawa
Menjadi Non-Jawa bukan berarti tidak memiliki elektabilitas untuk dipilih, namun untuk mendapatkan elektabilitas meraih suara orang Jawa dalam pemilihan presiden membutuhkan kerja keras, karena jika kurang mendapat dukungan orang Jawa tentu sulit memperoleh kemenangan, artinya harus benar-benar bisa merebut hati semua orang Indonesia termasuk Jawa.
Zaman modern seperti ini, sesungguhnya kurang nyanak menyebutkan kesukuan dalam dimensi politik. Ketika teknologi informasi yang semakin canggih dan cepat dalam persebaran informasi, maka sebetulnya orang Indonesia modern sepatutnya tidak lagi mempersoalkan suku dalam memilih pemimpin.
Guyonan Nyapres Non-Jawa
Zaman sudah berubah, meskipun faktor sosiologis demografis masih menjadi ukuran, namun pergeseran pola pikir dalam memilih pemimpin sudah banyak berubah ke arah yang lebih rasional.
Kebanyakan orang atau pemilih yang telah memiliki jangkauan pendidikan dan informasi yang memadai, memiliki pandangan rasional, siapa pun bisa dipilih asal berkualitas. Maka tidak heran jika kita mengamati ada juga tokoh Jawa tapi kurang memiliki elektabilitas, demikian juga sebaliknya.
Lantas bagaimana kita menyikapi ucapan Pak Luhut ini. Ya, ketawa aja, itu kan cuma guyonan orang Non-Jawa yang pingin menjadi presiden. Sama ketika Non-Muslim ingin jadi presiden, tentu dia sudah berhitung apakah bisa merebut pemilih muslim. Orang Islam yang memiliki jiwa nasionalisme, kebanyakan tidak lagi melihat segmen atas perbedaan suku agama, contohnya saja ada beberapa anggota DPR RI yang non muslim terpilih di dapil yang mayoritas muslim, demikian juga sebaliknya.
Bagaimana Membuktikan
Pak Luhut sebagai tokoh nasional, tentu dalam hatinya yang paling dalam, memiliki keinginan mengabdi dan memimpin negeri ini, namun dia berhitung secara sosiologis demografis, barangkali dalam hitungannya dia tidak mungkin terpilih. Padahal belum tentu, karena secara popularitas siapa yang tidak kenal Pak Luhut di Indonesia. Tinggal beliau bekerja lebih keras sedikit, prioritas mendapatkan dukungan partai, lalu sosialisasi dan blusukan lebih jauh, kita yakin elektabilitasnya bisa naik signifikan.
Bagaimana membuktikan bahwa non Jawa bisa menjadi presiden. Ya, seharusnya Pak Luhut sebagai tokoh nasional lebih berani membuktikan, membuat tantangan, persiapkan mental dan maju sebagai calon presiden. Jika ragu untuk menang, carilah orang Jawa sebagai pasangannya untuk posisi wakil presiden. Almarhum Gusdur bilang, "gitu aja kog repot..." Salam demokrasi... (*)